HOME VISIT: POTRET DIRI SISWA YANG MENGGUGAH
Oleh : Muslimin,S.Pd.
Pagi itu, kalau
tidak salah, pertengahan Oktober 2019. WIB menunjukkan pukul 08.00. Berbekal
surat tugas dari Kepala Sekolah, saya menuju ke rumah satu siswa yang harus
saya kunjungi. Istilah kerennya home visit. Kebijakan di SMP Islam Tikung
Lamongan, tempat saya mengajar, adalah penerapan disiplin yang ketat. Hal ini
bertujuan agar para siswa terbiasa hidup teratur dan terarah. Kelak pendidikan
disiplin ini diharapkan menjadikan siswa setelah lulus menjadi pribadi yang
tangguh dan tidak mudah mengeluh. Setiap siswa yang tiga hari berturut-turut
tidak masuk dan tanpa keterangan, harus dikunjungi ke rumah orang tuanya. Namun
biasanya sebelum dikunjungi orang tua siswa mendapat panggilan konfirmasi ke
sekolah. Apabila orang tua siswa tidak datang, barulah wali kelas atau guru BK
melakukan home visit. Kebetulan, selain menjadi guru mata pelajaran bahasa
Indonesia, saya juga diamanahi menjadi wali kelas dan guru bimbingan konseling
(BK).
Dari rilis data
yang saya terima, siswa yang saya kunjungi ini, Jayanto namanya, ada masalah
dengan kehadiran dan keaktifan mengikuti pelajaran. Hampir 5 hari sang siswa
ini tidak masuk tanpa keterangan. Sebelumnya orang tua siswa ini telah
dipanggil ke sekolah, namun tidak ada respon. Otomatis saya ditugaskan Kepala
Sekolah untuk mengunjunginya. Dalam teori bimbingan dan konseling, home visit
bertujuan untuk memantau secara langsung kondisi yang sebenarnya dari siswa
yang bersangkutan. Dengan seperangkat tindakan dan ucapan persuasif, diharapkan
siswa yang dikunjungi mengalami perubahan yang signifikan, dari yang tidak
aktif menjadi aktif masuk, dari yang malas belajar dan mengalami hambatan
belajar menjadi rajin belajar, dari yang berperilaku negatif menjadi positif,
dan seterusnya.
Alhasil, dengan
bismillah saya berangkat. Udara pagi itu cukup segar semakin menambah optimisme
saya semoga siswa tersebut segera berubah tanpa kendala yang berarti. Saya
sudah sering melakukan kegiatan seperti ini, baik sendiri maupun dengan teman
sejawat. Dari sekian banyak kegiatan home visit, dapat disimpulkan bahwa sumber
utama masalah siswa kebanyakan dari problema orang tua yang berdampak pada
perilaku anaknya. Saya pernah mengunjungi seorang iswa yang sering tidak masuk,
pukul 09.00 WIB saya sampai di rumahnya. Ternyata anaknya masih tidur. Dia
tinggal bersama neneknya. Orang tuanya bekerja di peternakan ayam. Baru satu
atau dua bulan sekali orang tuanya pulang ke rumah dan terkadang hanya sebentar
tinggalnya. Karena diburu pekerjaan dan waktu, buru-buru mereka kembali ke
tempat kerjanya. Karena minimnya pengasuhan dan pengawasan, sang anak tersebut
tidak terkontrol kegiatannya. Sang nenek yang sudah tua pun tak berdaya
menasihatinya. Memang sebentar menuruti nasihat neneknya, selanjutnya kembali
seperti sedia kala.
Baiklah, kembali
ke siswa yang bernama Jayanto tadi. Ketika sampai di rumahnya, saya mendapati
Jayanto masih tidur. WIB sudah menunjukkan pukul 08.20. Rumahnya sederhana,
beralas tanah dan berdinding papan. Bentuknya kecil dan sedikit perabotan rumah
yang tersedia. Setelah saya mengucapkan
salam, muncullah seorang wanita yang usianya sekitar 30-an. Wajahnya mirip
Jayanto, saya pikir ini pasti ibunya. Setelah menyilakan saya duduk, barulah
dia bicara bahwa dia ibunya. Saya mengatakan bahwa saya wali kelasnya,
buru-buru sang ibu itu mengucapkan permohonan maaf karena anaknya kurang aktif
masuk. Sang ibu selanjutnya mengatakan bahwa Jayanto adalah anak kedua dari dua
bersaudara. Dalam uraian selanjutnya saya baru mengetahui bahwa sang ibu ini
adalah single parent, orang tua tunggal, karena sudah lama ditinggal suaminya
tanpa kabar dan jejak yang jelas.
Dengan dua anak
yang masih sekolah, sang kakak Jayanto duduk di kelas 2 SMK, sang ibu yang
bernama Gayatri ini harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan dua
anaknya. Lalu biaya sekolah yang harus ditanggungnya, semakin membebani
kehidupannya. Namun beliau mengatakan bahwa demi anaknya, apa pun dikerjakan,
yang penting halal dan mencukupi kebutuhan mereka. Saya membayangkan seandainya
saya mengalami nasib seperti ibu ini, belum tentu saya bisa kuat menahan beban
berat hidup yang menimpa. Demikianlah, pagi-pagi sang ibu harus berangkat kerja
dan pulangnya menjelang maghrib setiap hari. Bekal dan uang saku sekolah sudah
disiapkannya dan sang ibu merasa yakin bahwa Jayanto berperilaku baik-baik saja
tanpa ada kendala yang berarti. Apalagi kakaknya selalu dipesan agar selalu
mengawasi adiknya. Ternyata…….
Kurang lebih lima
belas menit kami mengobrol, barulah Jayanto bangun dan dipanggil ibunya. Dengan
tersipu dia menyalami saya. Saya kemudian bertanya mengapa jam segini baru
bangun tidur. Dia beralasan bahwa tadi malam latihan pencak silat hingga jam
satu malam. Saya kemudian memberi motivasi bahwa dalam keadaan apa pun
kewajiban belajarnya tidak boleh ditinggalkan. Apakah motivasi saya merasuk ke
dalam hatinya atau tidak, saya tidak bisa menjangkau perasaannya. Namun dari
pertemuan itu, saya lihat sorot matanya redup, ada suatu hal yang mengikat dan
tak mampu dibebaskannya. Sang ibu kemudian pamit katanya mau membuatkan kopi
dan saya bilang kepada beliau tidak usah repot-repot. Jayanto kemudian
bercerita bahwa sepeninggal ayahnya, dia mudah merasa malas dan bosan di
sekolah. Tidak ada gairah belajar yang menggebu dan baginya dunia ini seperti
kosong belaka. Ayah dan ibunya berpisah ketika dia duduk di kelas 5 SD.
Artinya, kurang lebih 3 tahun tanpa didampingi ayahnya.
Akhirnya saya
menyimpulkan, bisa juga salah, bahwa pola asuh Jayanto yang timpang membuatnya
menjadi seperti sekarang. Beban psikologis yang disandangnya tidak serta merta
dengan mudah diurainya. Lalu saya memberitahu Jayanto bahwa di luar sana banyak
sekali anak yang bernasib sepertinya dan bisa jadi lebih berat daripada
nasibnya. Saya katakana padanya di antara mereka banyak yang sanggup keluar
dari belitan masalah itu. Di antara mereka banyak yang sukses dan mampu
melupakan masa lalu yang kelam. Sementara banyak sekali anak yang berkelimpahan
asuhan dan harta kekayaan, justru tersungkur dan tragis nasibnya. Saya tuturkan
padanya bahwa nasib setiap orang ditentukan seberapa jauh kekuatan motivasinya
untuk menghalau setiap masalah yang menderanya. Pernyataan ini sekaligus juga
menjadi introspeksi diri saya, karena pada dasarnya meskipun saya sedikit
memahami psikologi, namanya manusia pasti ada masa terdampar bahkan
tenggelamnya.
Rupanya arahan
saya sedikit membuka mata hatinya. Dengan terbata dan terharu, dia mengucapkan
terima kasih atas kehadiran saya. Berat nian hidup tanpa sosok ayah, namun
mulai hari itu dia berjanji pada dirinya sendiri untuk membaiki dirinya. Saya
mengaminkan tekadnya dan mengatakan bahwa tugas sekolah salah satunya adalah
untuk mengoptimalkan potensinya menjadi berkualitas dan berprestasi. Tidak
terasa obrolan semakin gangsar karena diselingi kopi dan kacang godok. Kiranya
waktu sudah mencukupi, saya pamit kepada ibunya dan Jayanto. Wajahnya menjadi
sumringah, senyumnya mengembang, dalam hati saya berdoa mudah-mudahan kelak dia
menjadi anak sholeh dan sukses berkarya. Begitulah sekelumit udarasa saya,
mudah-mudahan ada manfaatnya, terkhusus buat saya sendiri.
Bumi
Delik, 8 September 2020, 22.00-23.00 WIB
aamiiin..semoga terus menjadi motifator bagi anak anak didiknya pak.salam sehat dan sukses selalu
BalasHapus